Senin, 29 Juli 2013
Selasa, 23 Juli 2013
Kisah Nyata Keajaiban 6 Amalan: Hutang Lunas, Istri Kembali
“Lik, kalau besuk kamu nggak bisa melunasi utangmu, lebih baik kamu
mengosongi rumah ini. Atau, aku yang akan mengosongi rumahmu ini” ancam
rentenir, Ahad pagi itu. Dunia makin terasa sempit bagi Malik. Sudah
tiga tahun ini ia bergelut dengan masalahnya, namun tak juga ia sanggup
mengatasi masalah-masalah yang membelitnya, termasuk hutang tersebut.
Malik sudah berusaha mencari pinjaman, tapi hasilnya nihil. Kurang dari
24 jam lagi rumah satu-satunya itu akan disita.
Setelah si rentenir pergi, datanglah tamu kedua yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Sudah 2 tahun suami istri itu pisah ranjang.
“Kalau Abang belum juga menandatangani surat cerai saya, insya Allah besuk siang ada yang akan datang menjemput paksa Abang. Jadi besuk pukul 12 siang, saya tunggu di Pengadilan Agama untuk tanda tangan surat cerai!” Malik makin bongkok mendengar tuntutan istrinya itu. Ah... kalau saja si Malik tidak selingkuh. Ia masih ingat masa itu, ketika masih jaya-jayanya, Malik punya hobi main judi dan minum. Ketika usahanya bangkrut, hobi itu menjadi pelarian. Di tahun kedua ia main judi dan mabuk, terjadilah ‘perselingkuhan’ itu. Malik sudah menjelaskan bahwa ia selingkuh tidak sengaja, tetapi istrinya tidak terima. Pulang ke rumah orangtuanya dan meminta cerai.
Setelah Asar, anak pertama datang ke rumah. “Pak, besuk aku sudah nggak bisa sekolah lagi!”
“Kenapa?” tanya Malik
“Habis Bapak tidak membayarkan uang sekolah. Sudah tujuh bulan nunggak.”
Malik semakin bingung. Tiga masalah menumpuk dan memuncak di hari itu. Pikiran Malik semakin gelap seiring hari yang juga mulai gelap. Akhirnya malam itu, Malik memutuskan untuk bunuh diri.
Untunglah Malik masih punya sedikit iman. Sebelum bunuh diri, ia ingat belum Shalat Isya’. Sudah lama sebenarnya Malik tidak shalat, dan ia ingin shalat untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal. Keinginan untuk shalat ini rupanya adalah taufik dari Allah yang membuat Malik secara tak sengaja mengamalkan 6 amalan yang diwasiatkan Rasulullah kepada umatnya jika sedang dilanda gelisah. Fal yatawadh-dha’, langkah pertama adalah berwudhu.
Setelah berwudhu, tiba-tiba hati Malik mulai tenang. “Ya Allah... saya belum pernah dapat ketenangan seperti ini!”
Malik kemudian menunaikan shalat Isya’. Langkah kedua dalam wasiat Rasulullah: wal yushalli rak’atain dikerjakan oleh Malik. Meskipun yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Shalat Hajat, namun esensinya sama dengan Shalat Isya’ yang dilakukan Malik.
Setelah shalat, Malik melihat Al Qur’an di atas rak bukunya. “Mengaji dulu ah, untuk terakhir kali,” kata Malik yang kemudian secara tak sengaja membuka Surat Ali Imran ayat 26.
”Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Seakan-akan Allah mengatakan kepada Malik: “Lik, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata siapa rumahmu akan disita jika Allah mengamankannya? Kata siapa kau aka bercerai jika Allah menyatukan kalian? Kata siapa anakmu akan putus sekolah jika Allah memberi rezeki? Semua keputusan ada di tangan-Ku”
Namun Malik tetap belum percaya. Bagaimana mungkin uang 15 juta bisa ia dapatkan dalam hitungan jam. Bagaimana mungkin ia bisa kembali harmonis dengan istrinya jika jam 12 besuk ia harus bercerai di pengadilan.
Kemudian Malik meneruskan bacaannya. Ternyata artinya: ”Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki, tanpa batas.” (QS. Ali Imran : 27)
Malik masih ragu. Ia pun membuka lembaran mushaf yang lain dan membaca Surat Faathir ayat 2-3.
”Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yan dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling?”
Setelah membaca ayat ini, Malik pun sadar. Ia memohon ampun kepada Allah karena telah berniat bunuh diri yang dosanya sangat besar. “Kalau semua urusan adalah kehendak Allah, saya tidak jadi bunuh diri deh,” kata Malik sambil menutup mushafnya.
Malik kemudian mematikan seluruh lampu rumahnya, kecuali kamarnya dan kamar anaknya. Ia ingin bermunajat kepada Allah. Yang ternyata, itu amal keempat dalam wasiat Nabi setelah berwudhu, shalat dan membaca Qur’an.
Malik berdoa dengan khusyu’ memohon kepada Allah agar rumahnya tidak jadi disita, tidak jadi cerai dengan istrinya dan anaknya bisa tetap sekolah. Malik mengiringi doanya dengan membaca asmaul husna yang dihafalnya: Ya Aziizu ya Hakiim, ya Ghafuru ya Rahiim.
Malik terus berdoa dan membaca asmaul husna hingga jam 1. Mata terasa ngantuk, tetapi Malik tidak menyerah. Ia pun berwudhu dan membaca Qur’an lagi. Kali ini ayat yang dibuka tepat tentang keutamaan taqwa dan tawakkal. Surat Ath Thalaq ayat 2-3.
”Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”
Selesai membaca ayat ini, Malik kembali berdoa. Namun, kali ini doanya berbeda dari doa sebelumnya. Ia benar-benar bertawakkal dalam doanya. “Ya Allah... ampuniah dosaku. Jika besuk para rentenir itu datang, aku memasrahkan rumah ini. Aku telah menyerahkan semuanya kepadaMu...”
Setelah bertawakkal, kini Malik mendapatkan petunjuk untuk melakukan amalan keenam yang diwasiatkan Nabi, yaitu wal yatashaddaq, bersedekahlah. Malik ingat bahwa yang akan disita dalah rumahnya saja, sedangkan isinya tidak. Maka ia pun berencana menyedekahkan isi rumah itu. Ia akan keluar dari rumah itu hanya membawa pakaian saja.
Adzan Subuh terdengar. Malik yang sebelumnya lama tidak ke masjid, kini pergi ke rumah Allah itu untuk shalat berjamaah. Selesai shalat, dzikir dan doa, Malik tidak langsung pulang. Ia ingin terus menenangkan hatinya di masjid. Ia pun membaca surat Al Waqi’ah. Ia pernah mendengar, siapa yang membaca surat Al Waqi’ah akan dijauhkan dari kefakiran.
Tepat pukul 6 pagi, Malik keluar dari masjid. Begitu nyampai rumah, ia melihat sudah ada orang yang menunggunya. “keterlaluan si rentenir, janji datang jam 10, jam 6 sudah di sini,” kata Malik. Namun, ia tetap merasa tenang. Tak lupa ia membaca basmalah.
Ternyata tamu pagi-pagi ini bukan rentenir, melainkan teman lamanya. Singkat cerita, setelah saling sapa dan dibuatkan minum, sang teman menyampaikan maksud kedatangannya.
“Sebenarnya gue ada order Lik. Elu kan jago naksir alat-alat berat, bantu gue ya,” kata sang teman. Malik yang memang jago menaksir harga dimintanya untuk menemani ke luar kota yang mau mengadakan lelang alat berat.
“Maaf, nggak bisa. Gue lagi males,” jawab Malik.
“Aduh Lik, tolong dong... bisa rugi gue kalau elu nggak ikut”
Karena Malik tidak mau ikut temannya, ia pun iseng mengatakan, “Begini, deh. Kalau memang elu mau tetap ngajakgue juga, siapkan duit 50 juta cash di meja gue”
Perkiraan Malik, tidak mungkin temannya menyanggupi hal itu. Namun bagi Allah, semuanya bisa terjadi atas kehendakNya. Kun fayakun.
“Lik, kalau 50 juta mah nggak ada. Tapi kalau 25 juta ada, pagi ini cash pun gue siapin”
“Tolong diulang yang tadi,” kata Si Malik yang tersedak mendengar kesanggupan sang teman.
“Kalau 25 juta, bisa langsung gue siapin. Cash”
Alhamdulillah... selesailah masalah pertama. Masalah utang 15 juta itu beres, bahkan ada sisa 10 juta. Tinggal dua masalah lagi. Istri dan anak.
Rupanya, ketika Malik berdoa di malam hari, anaknya yang bungsu tak bisa tidur, ia nangis terus. Orang tua dari istri Malik menyarankan agar si anak dipertemukan dengan Malik pagi-pagi. “Barangkali anakmu kangen bapaknya, ajaklah bertemu besuk pagi sebelum kalian bercerai.”
Setelah mendapatkan uang 25 juta tersebut, datanglah si istri ke rumah Malik sesuai saran orangtuanya. Malik tersenyum lebar menyambutnya. Si istri pun terheran-heran. Namun belum lagi hilang penasarannya, Malik segera memeluknya dan berkata: “Alhamdulillah, Mah, kita selamat!”
“Selamat apa Bang?”
“Abang dapat duit, nih 25 juta. Mamah tahu kan rumah kita diincar rentenir gara-gara utang Abang 15 juta. Ini uang 15 juta nanti Mamah pegang, bayarkan ke rentenir biar nggak datang lagi selamanya. Katanya mau datang jam 10. Sisanya kita bagi dua. 5 juta buat ongkos Abang ke Riau, yang 5 juta Mamah pegang buat urusan anak-anak. Selama Abang di Riau, tolong jaga anak-anak ya”
“Iya Bang” entah mengapa tiba-tiba kata-kata itu yang keluar dari bibir istrinya. Istri yang tadinya bersikeras meminta cerai tiba-tiba lulu hatinya.
Permasalahan kedua pun selesai. Tinggal permasalahan ketiga, yaitu masalah SPP anak. Masalah ini justru yang paling ringan karena tunggakan SPP hanya 7 bulan, sebulannya Rp 50 ribu. Jadi totalnya hanya Rp 350 ribu. [Disarikan dari Buku Kun Fayakun 2 karya Ustadz Yusuf Mansur]
Setelah si rentenir pergi, datanglah tamu kedua yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Sudah 2 tahun suami istri itu pisah ranjang.
“Kalau Abang belum juga menandatangani surat cerai saya, insya Allah besuk siang ada yang akan datang menjemput paksa Abang. Jadi besuk pukul 12 siang, saya tunggu di Pengadilan Agama untuk tanda tangan surat cerai!” Malik makin bongkok mendengar tuntutan istrinya itu. Ah... kalau saja si Malik tidak selingkuh. Ia masih ingat masa itu, ketika masih jaya-jayanya, Malik punya hobi main judi dan minum. Ketika usahanya bangkrut, hobi itu menjadi pelarian. Di tahun kedua ia main judi dan mabuk, terjadilah ‘perselingkuhan’ itu. Malik sudah menjelaskan bahwa ia selingkuh tidak sengaja, tetapi istrinya tidak terima. Pulang ke rumah orangtuanya dan meminta cerai.
Setelah Asar, anak pertama datang ke rumah. “Pak, besuk aku sudah nggak bisa sekolah lagi!”
“Kenapa?” tanya Malik
“Habis Bapak tidak membayarkan uang sekolah. Sudah tujuh bulan nunggak.”
Malik semakin bingung. Tiga masalah menumpuk dan memuncak di hari itu. Pikiran Malik semakin gelap seiring hari yang juga mulai gelap. Akhirnya malam itu, Malik memutuskan untuk bunuh diri.
Untunglah Malik masih punya sedikit iman. Sebelum bunuh diri, ia ingat belum Shalat Isya’. Sudah lama sebenarnya Malik tidak shalat, dan ia ingin shalat untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal. Keinginan untuk shalat ini rupanya adalah taufik dari Allah yang membuat Malik secara tak sengaja mengamalkan 6 amalan yang diwasiatkan Rasulullah kepada umatnya jika sedang dilanda gelisah. Fal yatawadh-dha’, langkah pertama adalah berwudhu.
Setelah berwudhu, tiba-tiba hati Malik mulai tenang. “Ya Allah... saya belum pernah dapat ketenangan seperti ini!”
Malik kemudian menunaikan shalat Isya’. Langkah kedua dalam wasiat Rasulullah: wal yushalli rak’atain dikerjakan oleh Malik. Meskipun yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Shalat Hajat, namun esensinya sama dengan Shalat Isya’ yang dilakukan Malik.
Setelah shalat, Malik melihat Al Qur’an di atas rak bukunya. “Mengaji dulu ah, untuk terakhir kali,” kata Malik yang kemudian secara tak sengaja membuka Surat Ali Imran ayat 26.
”Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Seakan-akan Allah mengatakan kepada Malik: “Lik, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata siapa rumahmu akan disita jika Allah mengamankannya? Kata siapa kau aka bercerai jika Allah menyatukan kalian? Kata siapa anakmu akan putus sekolah jika Allah memberi rezeki? Semua keputusan ada di tangan-Ku”
Namun Malik tetap belum percaya. Bagaimana mungkin uang 15 juta bisa ia dapatkan dalam hitungan jam. Bagaimana mungkin ia bisa kembali harmonis dengan istrinya jika jam 12 besuk ia harus bercerai di pengadilan.
Kemudian Malik meneruskan bacaannya. Ternyata artinya: ”Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki, tanpa batas.” (QS. Ali Imran : 27)
Malik masih ragu. Ia pun membuka lembaran mushaf yang lain dan membaca Surat Faathir ayat 2-3.
”Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yan dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling?”
Setelah membaca ayat ini, Malik pun sadar. Ia memohon ampun kepada Allah karena telah berniat bunuh diri yang dosanya sangat besar. “Kalau semua urusan adalah kehendak Allah, saya tidak jadi bunuh diri deh,” kata Malik sambil menutup mushafnya.
Malik kemudian mematikan seluruh lampu rumahnya, kecuali kamarnya dan kamar anaknya. Ia ingin bermunajat kepada Allah. Yang ternyata, itu amal keempat dalam wasiat Nabi setelah berwudhu, shalat dan membaca Qur’an.
Malik berdoa dengan khusyu’ memohon kepada Allah agar rumahnya tidak jadi disita, tidak jadi cerai dengan istrinya dan anaknya bisa tetap sekolah. Malik mengiringi doanya dengan membaca asmaul husna yang dihafalnya: Ya Aziizu ya Hakiim, ya Ghafuru ya Rahiim.
Malik terus berdoa dan membaca asmaul husna hingga jam 1. Mata terasa ngantuk, tetapi Malik tidak menyerah. Ia pun berwudhu dan membaca Qur’an lagi. Kali ini ayat yang dibuka tepat tentang keutamaan taqwa dan tawakkal. Surat Ath Thalaq ayat 2-3.
”Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”
Selesai membaca ayat ini, Malik kembali berdoa. Namun, kali ini doanya berbeda dari doa sebelumnya. Ia benar-benar bertawakkal dalam doanya. “Ya Allah... ampuniah dosaku. Jika besuk para rentenir itu datang, aku memasrahkan rumah ini. Aku telah menyerahkan semuanya kepadaMu...”
Setelah bertawakkal, kini Malik mendapatkan petunjuk untuk melakukan amalan keenam yang diwasiatkan Nabi, yaitu wal yatashaddaq, bersedekahlah. Malik ingat bahwa yang akan disita dalah rumahnya saja, sedangkan isinya tidak. Maka ia pun berencana menyedekahkan isi rumah itu. Ia akan keluar dari rumah itu hanya membawa pakaian saja.
Adzan Subuh terdengar. Malik yang sebelumnya lama tidak ke masjid, kini pergi ke rumah Allah itu untuk shalat berjamaah. Selesai shalat, dzikir dan doa, Malik tidak langsung pulang. Ia ingin terus menenangkan hatinya di masjid. Ia pun membaca surat Al Waqi’ah. Ia pernah mendengar, siapa yang membaca surat Al Waqi’ah akan dijauhkan dari kefakiran.
Tepat pukul 6 pagi, Malik keluar dari masjid. Begitu nyampai rumah, ia melihat sudah ada orang yang menunggunya. “keterlaluan si rentenir, janji datang jam 10, jam 6 sudah di sini,” kata Malik. Namun, ia tetap merasa tenang. Tak lupa ia membaca basmalah.
Ternyata tamu pagi-pagi ini bukan rentenir, melainkan teman lamanya. Singkat cerita, setelah saling sapa dan dibuatkan minum, sang teman menyampaikan maksud kedatangannya.
“Sebenarnya gue ada order Lik. Elu kan jago naksir alat-alat berat, bantu gue ya,” kata sang teman. Malik yang memang jago menaksir harga dimintanya untuk menemani ke luar kota yang mau mengadakan lelang alat berat.
“Maaf, nggak bisa. Gue lagi males,” jawab Malik.
“Aduh Lik, tolong dong... bisa rugi gue kalau elu nggak ikut”
Karena Malik tidak mau ikut temannya, ia pun iseng mengatakan, “Begini, deh. Kalau memang elu mau tetap ngajakgue juga, siapkan duit 50 juta cash di meja gue”
Perkiraan Malik, tidak mungkin temannya menyanggupi hal itu. Namun bagi Allah, semuanya bisa terjadi atas kehendakNya. Kun fayakun.
“Lik, kalau 50 juta mah nggak ada. Tapi kalau 25 juta ada, pagi ini cash pun gue siapin”
“Tolong diulang yang tadi,” kata Si Malik yang tersedak mendengar kesanggupan sang teman.
“Kalau 25 juta, bisa langsung gue siapin. Cash”
Alhamdulillah... selesailah masalah pertama. Masalah utang 15 juta itu beres, bahkan ada sisa 10 juta. Tinggal dua masalah lagi. Istri dan anak.
Rupanya, ketika Malik berdoa di malam hari, anaknya yang bungsu tak bisa tidur, ia nangis terus. Orang tua dari istri Malik menyarankan agar si anak dipertemukan dengan Malik pagi-pagi. “Barangkali anakmu kangen bapaknya, ajaklah bertemu besuk pagi sebelum kalian bercerai.”
Setelah mendapatkan uang 25 juta tersebut, datanglah si istri ke rumah Malik sesuai saran orangtuanya. Malik tersenyum lebar menyambutnya. Si istri pun terheran-heran. Namun belum lagi hilang penasarannya, Malik segera memeluknya dan berkata: “Alhamdulillah, Mah, kita selamat!”
“Selamat apa Bang?”
“Abang dapat duit, nih 25 juta. Mamah tahu kan rumah kita diincar rentenir gara-gara utang Abang 15 juta. Ini uang 15 juta nanti Mamah pegang, bayarkan ke rentenir biar nggak datang lagi selamanya. Katanya mau datang jam 10. Sisanya kita bagi dua. 5 juta buat ongkos Abang ke Riau, yang 5 juta Mamah pegang buat urusan anak-anak. Selama Abang di Riau, tolong jaga anak-anak ya”
“Iya Bang” entah mengapa tiba-tiba kata-kata itu yang keluar dari bibir istrinya. Istri yang tadinya bersikeras meminta cerai tiba-tiba lulu hatinya.
Permasalahan kedua pun selesai. Tinggal permasalahan ketiga, yaitu masalah SPP anak. Masalah ini justru yang paling ringan karena tunggakan SPP hanya 7 bulan, sebulannya Rp 50 ribu. Jadi totalnya hanya Rp 350 ribu. [Disarikan dari Buku Kun Fayakun 2 karya Ustadz Yusuf Mansur]
*http://www.bersamadakwah.com/2013/04/kisah-keajaiban-6-amalan-hutang-lunas.html
Minggu, 16 Juni 2013
Arti Kehidupan
Seorang anak perempuan mengeluh pada sang ayah tentang
kehidupannya yang sangat berat. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan
bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang.
Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul.
Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga
panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.
Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan kompor.
Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir.
Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: "Sayangku, apa yang kaulihat?"
"Wortel, telur, dan kopi," jawab anaknya.
Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil telur dan memecahkannya.
Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang keras.
Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya "Apa artinya, bapa?"
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak
dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.
"Yang mana engkau, anakku?" sang ayah bertanya.
"Ketika penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?"
Bagaimana dengan ANDA, sobat?
Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga
panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.
Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan kompor.
Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir.
Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: "Sayangku, apa yang kaulihat?"
"Wortel, telur, dan kopi," jawab anaknya.
Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil telur dan memecahkannya.
Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang keras.
Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya "Apa artinya, bapa?"
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak
dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.
"Yang mana engkau, anakku?" sang ayah bertanya.
"Ketika penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?"
Bagaimana dengan ANDA, sobat?
Apakah Anda seperti
telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa lembut,
tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan, Anda
menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi apakah
Anda menjadi pahit, tegar hati,serta kepala batu?
Atau apakah Anda
seperti biji kopi? Kopi mengubah air panas, hal yang membawa kepedihan itu,
bahkan pada saat puncaknya ketika mencapai 100 C. Ketika air menjadi panas,
rasanya justru menjadi lebih enak. Apabila Anda seperti biji kopi, maka ketika
segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun Anda dapat menjadi
lebih baik dan juga
membuat suasana di sekitar Anda menjadi lebih baik.
Bagaimana cara Anda
menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?
Sumber: unknown
Selasa, 21 Mei 2013
Kisah Seorang Polisi Yang Menilang Sahabat Karibnya
Semoga cerita ini dapat memberikan pencerahan kepada kita semua tentang arti hidup dan menghargai orang lain.
———————————————-
Dari kejauhan, lampu lal...u-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit...!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, juga Jon.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang, nih? Maaf, Saya memang agak buru-buru.
Sebab, Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
“Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.”
Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo lah Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.
“Kepada temanku Jono, Tahukah kamu Jon, Dulu aku mempunyai seorang anak perempuan. Sayangnya, ia sudah meninggal karena tertabrak pengemudi yang mengebut dengan menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak lagi agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya hal itu kami lakukan. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.
Setelah membaca,
Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraannya dan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya bisa dimaafkan…….
________________
Sahabat,
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita sendiri. Hidup ini sangat berharga, Untuk itu jalanilah segala sesuatunya dengan penuh hati-hati.@dari fb temen
———————————————-
Dari kejauhan, lampu lal...u-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit...!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, juga Jon.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang, nih? Maaf, Saya memang agak buru-buru.
Sebab, Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
“Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.”
Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo lah Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”
Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.
“Kepada temanku Jono, Tahukah kamu Jon, Dulu aku mempunyai seorang anak perempuan. Sayangnya, ia sudah meninggal karena tertabrak pengemudi yang mengebut dengan menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak lagi agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya hal itu kami lakukan. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.
Setelah membaca,
Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraannya dan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya bisa dimaafkan…….
________________
Sahabat,
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita sendiri. Hidup ini sangat berharga, Untuk itu jalanilah segala sesuatunya dengan penuh hati-hati.@dari fb temen
Rabu, 15 Mei 2013
Ibu Jualan Lontong, Anak S-2 di Jerman
Tak pernah terpikir di benak
Watiyah (60) alias Mak Wati bisa melihat putri bungsunya, Riska Panca
Widowati (23) menempuh pendidikan S-2 di luar negeri. Pada 2011 lalu,
Riska mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan master ke
Universitas Konstanz, di Kota Konstanz, Jerman. Sebelumnya, ia
menyelesaikan pendidikan sarjananya di jurusan Sastra Jerman,
Universitas Negeri Jakarta, angkatan 2007.
Salah satu yang membuat Mak Wati "serasa bermimpi" adalah kondisi keluarganya yang hanya golongan ekonomi menengah ke bawah. Suaminya, Wagimin, hanya seorang buruh bangunan, sementara Mak Wati berjualan makanan keliling di Gedung DPR, Jakarta. Mak Wati dan Wagimin memiliki lima orang anak.
Mak Wati lantas berkisah, ketika awal mula ia mendapatkan kabar gembira dari putrinya. Awalnya, ia melarang Riska untuk berangkat ke Jerman. Mak Wati khawatir dengan kehidupan yang akan dijalani Riska di negeri orang. Namun, setelah mendapatkan masukan dari banyak orang dan melihat kemauan keras putrinya, Mak Wati pun memberi restu.
"Saya mah enggak tahu beasiswanya dari mana. Anak saya enggak ngajuin, tapi ditawarin kuliah di Konstanz, tinggalnya di asrama," kata Mak Wati, saat dijumpai Kompas.com, di lantai 18, Gedung Nusantara I, DPR, Rabu (8/5/2013) pagi
"Skype"-an
Setelah Riska berangkat ke Jerman, Mak Wati, yang tinggal di Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini pun menjadi melek teknologi. Jarak jauh membuatnya menjadi akrab dengan internet, demi mengobati rindu melihat putrinya. Salah satu andalannya adalah menggunakan Skype. Menurutnya, jika sudah "Skype"-an dengan Riska, ia menjadi lupa waktu. Berjam-jam ia habiskan di depan layar komputer untuk ngobrol dengan putrinya.
"Dia (Riska) yang nelepon, kadang malah sambil makan. Sekarang dia gemukan, tambah putih, tambah cantik. Dia sudah ke mana-mana katanya, fotonya banyak, ke Berlin juga sudah," ujar Mak Wati sambil tersenyum.
Bila tak ada halangan, pada September 2013 nanti Riska akan menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Mak Wati mengaku tak memiliki rencana khusus untuk menyambut putrinya. Ia hanya berharap Riska kelak bisa berhasil dan bisa mengangkat derajat keluarganya.
Terkenal di DPR
Nama Mak Wati begitu dikenal di Gedung DPR. Khususnya di kalangan asisten dan staf ahli angggota DPR, PNS kesekretariatan, sampai petugas Pamdal, dan office boy. Sejak tahun 1984, wanita yang memiliki 10 orang cucu ini mulai menjajakan dagangannya.
Saat ini, ia biasa berjualan di Gedung Nusantara I, di sekitar lantai 3 hingga lantai 22. Selain lebih murah, makanan yang dijual Mak Wati juga memiliki rasa yang enak. Ada lontong sayur, bihun goreng, dan aneka gorengan serta camilan. Makanan yang dijual mulai dari Rp 500 sampai Rp 7.000. Tak heran bila dagangannya cepat habis. Biasanya, ia pulang ke rumah sebelum sore dengan membawa hasil berjualan sebesar Rp 100.000 - Rp 150.000.
Kompas.com
Salah satu yang membuat Mak Wati "serasa bermimpi" adalah kondisi keluarganya yang hanya golongan ekonomi menengah ke bawah. Suaminya, Wagimin, hanya seorang buruh bangunan, sementara Mak Wati berjualan makanan keliling di Gedung DPR, Jakarta. Mak Wati dan Wagimin memiliki lima orang anak.
Mak Wati lantas berkisah, ketika awal mula ia mendapatkan kabar gembira dari putrinya. Awalnya, ia melarang Riska untuk berangkat ke Jerman. Mak Wati khawatir dengan kehidupan yang akan dijalani Riska di negeri orang. Namun, setelah mendapatkan masukan dari banyak orang dan melihat kemauan keras putrinya, Mak Wati pun memberi restu.
"Saya mah enggak tahu beasiswanya dari mana. Anak saya enggak ngajuin, tapi ditawarin kuliah di Konstanz, tinggalnya di asrama," kata Mak Wati, saat dijumpai Kompas.com, di lantai 18, Gedung Nusantara I, DPR, Rabu (8/5/2013) pagi
"Skype"-an
Setelah Riska berangkat ke Jerman, Mak Wati, yang tinggal di Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini pun menjadi melek teknologi. Jarak jauh membuatnya menjadi akrab dengan internet, demi mengobati rindu melihat putrinya. Salah satu andalannya adalah menggunakan Skype. Menurutnya, jika sudah "Skype"-an dengan Riska, ia menjadi lupa waktu. Berjam-jam ia habiskan di depan layar komputer untuk ngobrol dengan putrinya.
"Dia (Riska) yang nelepon, kadang malah sambil makan. Sekarang dia gemukan, tambah putih, tambah cantik. Dia sudah ke mana-mana katanya, fotonya banyak, ke Berlin juga sudah," ujar Mak Wati sambil tersenyum.
Bila tak ada halangan, pada September 2013 nanti Riska akan menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Mak Wati mengaku tak memiliki rencana khusus untuk menyambut putrinya. Ia hanya berharap Riska kelak bisa berhasil dan bisa mengangkat derajat keluarganya.
Terkenal di DPR
Nama Mak Wati begitu dikenal di Gedung DPR. Khususnya di kalangan asisten dan staf ahli angggota DPR, PNS kesekretariatan, sampai petugas Pamdal, dan office boy. Sejak tahun 1984, wanita yang memiliki 10 orang cucu ini mulai menjajakan dagangannya.
Saat ini, ia biasa berjualan di Gedung Nusantara I, di sekitar lantai 3 hingga lantai 22. Selain lebih murah, makanan yang dijual Mak Wati juga memiliki rasa yang enak. Ada lontong sayur, bihun goreng, dan aneka gorengan serta camilan. Makanan yang dijual mulai dari Rp 500 sampai Rp 7.000. Tak heran bila dagangannya cepat habis. Biasanya, ia pulang ke rumah sebelum sore dengan membawa hasil berjualan sebesar Rp 100.000 - Rp 150.000.
Kompas.com
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Kamis, 18 April 2013
MENERIMA TANPA SYARAT
Mungkin terlalu sering kita berbicara mengenai menerima orang lain apa
adanya sampai kita sendiri lupa bagaimana mempraktikkan apa yang kita
omongkan.
Ternyata tidak mudah menerima orang lain apa adanya, apalagi keadaan orang lain itu jauh dari yang kita bayangkan. Apakah kita sanggup menerima orang yang dikelompokkan sebagai miskin, gelandangan, pengemis, ketika de facto mereka berada di hadapan kita? Ketika de facto mereka mengetuk hati kita, menatap mata kita dan meminta belas kasihan? Seorang ibu memiliki pengalaman amat unik yang ingin dia bagikan ke kita. Saya menerjemahkannya secara bebas untuk rekan-rekan pembaca.
Aku seorang ibu dari tiga orang anak. Panggil saja aku Lea. Selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keperluan sehari-hari suamiku Toni, putra tertuaku Kevin (14 tahun), Sander (12 tahun), dan putriku Charlote (3 tahun), aku diizinkan suamiku untuk melanjutkan kuliah S-1 yang nyaris selesai sebelum kami menikah. Syukur kepada Tuhan, baru beberapa bulan lalu aku menyelesaikan studi Strata Satu Sosiologi di sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini.
Bagiku pengalaman selama kuliah selalu menjadi momen pembelajaran yang sungguh luar biasa. Saya selalu mengenang tantangan yang diberikan dosen sosiologi, Bapak Patrick, yang pada masa saya kuliah Beliau sedang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “proyek senyum”. Apakah proyek ini sebenarnya? Suatu hari Pak Patrick menugaskan kami sekelas untuk menjalankan proyek ini dengan instruksi bahwa kami harus bertemu dengan paling kurang tiga orang, memberikan senyuman kepada mereka, dan kemudian mencatat apa reaksi mereka terhadap senyuman kami. Karena saya seorang yang ramah dan murah senyum, saya pikir tugas ini tidak akan sulit saya laksanakan.
Segera setelah kuliah usai, saya bergegas menuju ke rumah kami yang jaraknya tidak lebih dari 30 menit naik kendaraan umum dari depan kampus. Keesokan harinya, ketika saya, suami dan ketiga anak-anak kami sedang berjalan santai ke salah satu pusat perbelanjaan, saya pikir bagus juga kalau hari itu saya merealisasikan “proyek senyum” tersebut. Ketika saya menanyakan hal itu ke suamiku, dia mengiyakan, bahkan suami bersedia merekam apa reaksi orang terhadap senyumanku kepada mereka. Kami memutuskan untuk merealisasikan “proyek senyum” ini ketika kami akan makan siang di sebuah restoran cepat saji di ujung jalan itu.
Kami sekeluarga segera memasuki restoran asal negeri Paman Sam tersebut dan langsung antri. Ternyata sudah banyak orang yang mengantri menunggu giliran dilayani. Ketika kami mulai mendekati tempat pelayan restoran, tiba-tiba saya melihat orang-orang yang berbaris di belakangku, termasuk suamiku, berbalik badan dan bergerak menjauhi antrian. “Ada apa sih? Koq pada bubar semua?” Tiba-tiba saja ketika mata saya mengamati pergerakan orang-orang yang meninggalkan antrian, saya mencium bau badan yang sangat tajam, seperti bau orang yang lama tidak mandi. “Huum, bau apakah itu?” selidikku dalam hati. Betapa terkejutnya saya ketika melihat persis di belakangku dua anak jalanan dengan pakaian yang sangat kotor dan menjijikkan. Rupanya bau badan kedua bocah ini yang telah “mengusir” sebagian pengunjung restoran cepat saji itu. Ketika mataku menatap bocah yang lebih pendek dan yang paling dekat denganku, anak laki-laki itu tersenyum kepadaku. Aku melihat betapa matanya yang bening dan bersih itu seakan-akan bersinar penuh kedamaian. Mata itu begitu indah, jauh dari perasaan takut atau kegelisahan. Tampaknya hanya satu hal yang ingin dicari mata itu, agar dia diterima.
Eh, tiba-tiba perkataannya membuyarkan pikiranku, katanya, “Hari yang baik, Bu!” Sambil berkata begitu, tangannya terus memainkan beberapa keping koin yang dia genggam, sepertinya dia menghitung koin-koin tersebut. Anak muda yang masih remaja itu membawa serta seorang sahabatnya, sesama anak jalanan yang tampaknya menderita keterbelakangan mental. Praktis temannya yang sehat telah menjadi semacam penyelamat bagi hidupnya. Ke mana pun mereka selalu berdua.
Menyadari kehadiran kedua bocah jalanan itu, pelayan restoran segera menanyakan apa yang mereka inginkan. Bocah yang sehat itu berkata, “Dua gelas kopi sudah cukup bagi kami, Nona!” Hanya itu yang bisa mereka beli sekaligus mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri dalam restoran tersebut, mengingat suhu udara sangat dingin di luar. Menyaksikan hal ini, tiba-tiba perasaan bingung dan rasa belaskasihan berkecamuk kuat dalam diriku. Hampir saja saya meraih dan memeluk kedua bocah itu ketika saya melihat reaksi ketidaksenangan orang-orang yang ada di restoran tersebut. Mereka semua sedang menatapku seakan-akan mengatakan kepada saya untuk tidak melakukan hal yang mereka anggap konyol, yakni memeluk atau sekadar membantu kedua anak jalanan ini.
Setelah menerima kopi dua gelas dan membayar dengan uang recehan yang mungkin mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta, kedua bocah itu segera duduk di meja paling ujung dan mulai menikmati hangatnya kopi. Ketika giliran saya tiba untuk dilayani petugas restoran, saya meminta mereka untuk menambah dua porsi lagi di tempat terpisah selain lima porsi yang saya pesan untuk aku, suami, dan anak-anakku. Saya meminta suami membawa lima porsi untuk kami ke meja yang telah disediakan, sementara saya membawa dua porsi ekstra, berjalan perlahan ke meja di mana kedua bocah jalanan itu duduk. Setelah meletakkan dua porsi makan pagi di atas meja, saya meraih tangan bocah yang tadi menatapku, menyapanya dengan salah satu senyuman terindah dari bibirku. Kopi hangat yang nyaris selesai mereka minum ternyata tidak sanggup menghangatkan tangan kotor itu begitu dingin. Sekali lagi anak muda itu menatapku, tetapi kali ini dengan air mata yang mengalir perlahan membasahi pipinya. Dengan suara terbata-bata dia berkata kepadaku, “Mum, terima kasih!” Saya mendekatkan tubuhku ke arahnya, menggenggam erat kedua tangannya dan berkata, “Saya tidak melakukan ini untukmu…. Tuhan sedang hadir di restoran ini, dan melalui saya Dia ingin memberikan sebuah pengarapan kepada kamu.” Setelah berkata demikian, saya tidak mampu lagi menahan air mataku, dan mulai menangis. Saya pun berbalik ke meja di mana suami dan anak-anakku tidak sabaran menunggu.
Ketika saya mulai duduk di meja tempat suami dan anak-anakku berada, suamiku tersenyum kepadaku dan berkata, “Sekarang saya tahu mengapa Tuhan menghadiahkan kamu kepadaku, sayangku, supaya kamu memberi aku sebuah pengharapan.” Saya masih menghela nafas karena menahan tangis ketika suamiku mulai menggenggam tanganku. Tiba-tiba saja keheningan dan ketenangan menghampiri kami. Saat itulah aku mengerti dengan baik, bahwa Rahmat Tuhan sungguh berlimpah. Dia sudah memberikan Rahmat itu kepadaku dan keluargaku, dan kini melalui kamilah Rahmat dan pengharapan itu harus dibagikan. Itulah pengalaman cinta yang paling menawan yang boleh aku alami, yakni ketika aku melihat kehadiran-Nya dalam sorot mata dan senyum yang diberikan bocah pengemis itu. Tuhan telah menunjukkan aku jalan dan terang-Nya untuk semakin mengasihi keluarga dan orang lain sama seperti aku mengasihi diriku sendiri.
Bagaimana dengan “proyek senyum” yang diberikan dosen sosiologi kepadaku? Saya kembali keesokan harinya, dan menyerahkan kisah yang aku alami ini sebagai hasil “temuanku”. Ketika membaca kisah pengalamanku ini, dosen bertanya, “Apakah saya bisa membagikan kisah ini juga kepada teman-temanmu?” Saya mengangguk perlahan, dan dosen pun mulai membacakan apa yang saya kisahkan. Tentu teman-temanku sangat takjub dengan kisah yang saya tulis tersebut. Tetapi lebih dari itu, saya semakin mengerti bahwa sebagai manusia dan mitra Tuhan, kita semua harus berani membagikan pengalaman-pengalaman ketika kita disentuh dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan bahwa pengalaman-pengalaman itu tidak saja menguatkan iman, tetapi juga menyembuhkan, dan memberi pengharapan akan hidup yang lebih baik. Melalui saya, Tuhan telah mengunjungi suamiku, anak-anakku, dan anak-anak jalanan yang saya jumpai di restoran cepat saji itu.
Ternyata tidak mudah menerima orang lain apa adanya, apalagi keadaan orang lain itu jauh dari yang kita bayangkan. Apakah kita sanggup menerima orang yang dikelompokkan sebagai miskin, gelandangan, pengemis, ketika de facto mereka berada di hadapan kita? Ketika de facto mereka mengetuk hati kita, menatap mata kita dan meminta belas kasihan? Seorang ibu memiliki pengalaman amat unik yang ingin dia bagikan ke kita. Saya menerjemahkannya secara bebas untuk rekan-rekan pembaca.
Aku seorang ibu dari tiga orang anak. Panggil saja aku Lea. Selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keperluan sehari-hari suamiku Toni, putra tertuaku Kevin (14 tahun), Sander (12 tahun), dan putriku Charlote (3 tahun), aku diizinkan suamiku untuk melanjutkan kuliah S-1 yang nyaris selesai sebelum kami menikah. Syukur kepada Tuhan, baru beberapa bulan lalu aku menyelesaikan studi Strata Satu Sosiologi di sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini.
Bagiku pengalaman selama kuliah selalu menjadi momen pembelajaran yang sungguh luar biasa. Saya selalu mengenang tantangan yang diberikan dosen sosiologi, Bapak Patrick, yang pada masa saya kuliah Beliau sedang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “proyek senyum”. Apakah proyek ini sebenarnya? Suatu hari Pak Patrick menugaskan kami sekelas untuk menjalankan proyek ini dengan instruksi bahwa kami harus bertemu dengan paling kurang tiga orang, memberikan senyuman kepada mereka, dan kemudian mencatat apa reaksi mereka terhadap senyuman kami. Karena saya seorang yang ramah dan murah senyum, saya pikir tugas ini tidak akan sulit saya laksanakan.
Segera setelah kuliah usai, saya bergegas menuju ke rumah kami yang jaraknya tidak lebih dari 30 menit naik kendaraan umum dari depan kampus. Keesokan harinya, ketika saya, suami dan ketiga anak-anak kami sedang berjalan santai ke salah satu pusat perbelanjaan, saya pikir bagus juga kalau hari itu saya merealisasikan “proyek senyum” tersebut. Ketika saya menanyakan hal itu ke suamiku, dia mengiyakan, bahkan suami bersedia merekam apa reaksi orang terhadap senyumanku kepada mereka. Kami memutuskan untuk merealisasikan “proyek senyum” ini ketika kami akan makan siang di sebuah restoran cepat saji di ujung jalan itu.
Kami sekeluarga segera memasuki restoran asal negeri Paman Sam tersebut dan langsung antri. Ternyata sudah banyak orang yang mengantri menunggu giliran dilayani. Ketika kami mulai mendekati tempat pelayan restoran, tiba-tiba saya melihat orang-orang yang berbaris di belakangku, termasuk suamiku, berbalik badan dan bergerak menjauhi antrian. “Ada apa sih? Koq pada bubar semua?” Tiba-tiba saja ketika mata saya mengamati pergerakan orang-orang yang meninggalkan antrian, saya mencium bau badan yang sangat tajam, seperti bau orang yang lama tidak mandi. “Huum, bau apakah itu?” selidikku dalam hati. Betapa terkejutnya saya ketika melihat persis di belakangku dua anak jalanan dengan pakaian yang sangat kotor dan menjijikkan. Rupanya bau badan kedua bocah ini yang telah “mengusir” sebagian pengunjung restoran cepat saji itu. Ketika mataku menatap bocah yang lebih pendek dan yang paling dekat denganku, anak laki-laki itu tersenyum kepadaku. Aku melihat betapa matanya yang bening dan bersih itu seakan-akan bersinar penuh kedamaian. Mata itu begitu indah, jauh dari perasaan takut atau kegelisahan. Tampaknya hanya satu hal yang ingin dicari mata itu, agar dia diterima.
Eh, tiba-tiba perkataannya membuyarkan pikiranku, katanya, “Hari yang baik, Bu!” Sambil berkata begitu, tangannya terus memainkan beberapa keping koin yang dia genggam, sepertinya dia menghitung koin-koin tersebut. Anak muda yang masih remaja itu membawa serta seorang sahabatnya, sesama anak jalanan yang tampaknya menderita keterbelakangan mental. Praktis temannya yang sehat telah menjadi semacam penyelamat bagi hidupnya. Ke mana pun mereka selalu berdua.
Menyadari kehadiran kedua bocah jalanan itu, pelayan restoran segera menanyakan apa yang mereka inginkan. Bocah yang sehat itu berkata, “Dua gelas kopi sudah cukup bagi kami, Nona!” Hanya itu yang bisa mereka beli sekaligus mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri dalam restoran tersebut, mengingat suhu udara sangat dingin di luar. Menyaksikan hal ini, tiba-tiba perasaan bingung dan rasa belaskasihan berkecamuk kuat dalam diriku. Hampir saja saya meraih dan memeluk kedua bocah itu ketika saya melihat reaksi ketidaksenangan orang-orang yang ada di restoran tersebut. Mereka semua sedang menatapku seakan-akan mengatakan kepada saya untuk tidak melakukan hal yang mereka anggap konyol, yakni memeluk atau sekadar membantu kedua anak jalanan ini.
Setelah menerima kopi dua gelas dan membayar dengan uang recehan yang mungkin mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta, kedua bocah itu segera duduk di meja paling ujung dan mulai menikmati hangatnya kopi. Ketika giliran saya tiba untuk dilayani petugas restoran, saya meminta mereka untuk menambah dua porsi lagi di tempat terpisah selain lima porsi yang saya pesan untuk aku, suami, dan anak-anakku. Saya meminta suami membawa lima porsi untuk kami ke meja yang telah disediakan, sementara saya membawa dua porsi ekstra, berjalan perlahan ke meja di mana kedua bocah jalanan itu duduk. Setelah meletakkan dua porsi makan pagi di atas meja, saya meraih tangan bocah yang tadi menatapku, menyapanya dengan salah satu senyuman terindah dari bibirku. Kopi hangat yang nyaris selesai mereka minum ternyata tidak sanggup menghangatkan tangan kotor itu begitu dingin. Sekali lagi anak muda itu menatapku, tetapi kali ini dengan air mata yang mengalir perlahan membasahi pipinya. Dengan suara terbata-bata dia berkata kepadaku, “Mum, terima kasih!” Saya mendekatkan tubuhku ke arahnya, menggenggam erat kedua tangannya dan berkata, “Saya tidak melakukan ini untukmu…. Tuhan sedang hadir di restoran ini, dan melalui saya Dia ingin memberikan sebuah pengarapan kepada kamu.” Setelah berkata demikian, saya tidak mampu lagi menahan air mataku, dan mulai menangis. Saya pun berbalik ke meja di mana suami dan anak-anakku tidak sabaran menunggu.
Ketika saya mulai duduk di meja tempat suami dan anak-anakku berada, suamiku tersenyum kepadaku dan berkata, “Sekarang saya tahu mengapa Tuhan menghadiahkan kamu kepadaku, sayangku, supaya kamu memberi aku sebuah pengharapan.” Saya masih menghela nafas karena menahan tangis ketika suamiku mulai menggenggam tanganku. Tiba-tiba saja keheningan dan ketenangan menghampiri kami. Saat itulah aku mengerti dengan baik, bahwa Rahmat Tuhan sungguh berlimpah. Dia sudah memberikan Rahmat itu kepadaku dan keluargaku, dan kini melalui kamilah Rahmat dan pengharapan itu harus dibagikan. Itulah pengalaman cinta yang paling menawan yang boleh aku alami, yakni ketika aku melihat kehadiran-Nya dalam sorot mata dan senyum yang diberikan bocah pengemis itu. Tuhan telah menunjukkan aku jalan dan terang-Nya untuk semakin mengasihi keluarga dan orang lain sama seperti aku mengasihi diriku sendiri.
Bagaimana dengan “proyek senyum” yang diberikan dosen sosiologi kepadaku? Saya kembali keesokan harinya, dan menyerahkan kisah yang aku alami ini sebagai hasil “temuanku”. Ketika membaca kisah pengalamanku ini, dosen bertanya, “Apakah saya bisa membagikan kisah ini juga kepada teman-temanmu?” Saya mengangguk perlahan, dan dosen pun mulai membacakan apa yang saya kisahkan. Tentu teman-temanku sangat takjub dengan kisah yang saya tulis tersebut. Tetapi lebih dari itu, saya semakin mengerti bahwa sebagai manusia dan mitra Tuhan, kita semua harus berani membagikan pengalaman-pengalaman ketika kita disentuh dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan bahwa pengalaman-pengalaman itu tidak saja menguatkan iman, tetapi juga menyembuhkan, dan memberi pengharapan akan hidup yang lebih baik. Melalui saya, Tuhan telah mengunjungi suamiku, anak-anakku, dan anak-anak jalanan yang saya jumpai di restoran cepat saji itu.
Langganan:
Postingan (Atom)